Rabu, 21 Oktober 2009

.... Gadis Pemetik Hujan ....

Betapa sebuah aroma dapat menarikku begitu jauh hanyut kedalam ingatanku,
Ya, aroma tanah basah yang baru tersiram hujan, sama persis ketika itu dimana aku
duduk termenung tanpa pikiran-pikiran yang bermakna bertemankan secangkir kopi hitam.

Sebenarnya aku bukanlah penikmat kopi sejati, aku lebih menyukai secangkir coklat hangat yang kental, kecuali hari ini, secangkir kopi hitam pahit tanpa gula. Itu semua bukan karena tanpa alasan, aku sedang menanti seseorang,, hmmmm, atau lebih tepatnya ‘sesuatu’,,
aku sedang menanti kedatangan Gadis Pemetik Hujan, dia bukan gadis sembarangan, dia juga bukan manusia tapi dia juga makhluk.

Dia hanya akan muncul ketika bumi belum sepenuhnya basah oleh hujan.

Kuteguk sedikit kopiku dengan perasaan sedikit ragu, takut rasa kopi ini menyiksa saraf-saraf indera pengecapku,, lalu kenapa harus kopi yang tanpa gula??

Ini berawal dari cerita penduduk setempat yang percaya akan keberadaan Gadis Pemetik Hujan. Selain pada saat hujan, dia juga akan muncul ketika mencium aroma kopi hitam yang diseduh,, tapi apa harus tanpa gula??,, entahlah, katanya sih begitu, ah biar saja, lagi pula apakah secangkir kopi akan tetap pantas disebut ‘kopi’ ketika telah tercampur dengan gula?

Menghidangkan kopi hitam selagi hujan baru turun, menjadi ritual wajib bagi yang ingin menyaksikan kemunculan Gadis Pemetik Hujan. Urusan kopinya harus pahit atau manis ya kalian coba saja sendiri.

Lantas siapakah gerangan Gadis Pemetik Hujan itu??

Lagi-lagi, ini kudengar dari mulut-mulut penduduk setempat. Ada beragam cerita yang dihembuskan, sebagian bilang bahwa dia itu arwah nenek moyang yang dulunya adalah penduduk asli kampung ini, yang katanya meninggal secara misterius, meninggal atau menghilang aku kurang jelas, tetapi ada juga yang mengatakan dia adalah peri penunggu kampung ini, sedangkan sebagian lagi bilang dia hanya jin iseng yang mencari ketenaran disini,, iya juga yah, karena ritual pemanggilan jin di negara kita ‘kan wajib menggunakan kopi hitam,,

Tentang siapa dia sebenarnya aku tidak terlalu tertarik, aku lebih tertarik dengan apa yang akan dia lakukan ketika muncul nanti, memetik hujan kah?? Seperti apakah memetik hujan itu?? Apa sama seperti ketika ibu-ibu dikampung ini memetik daun teh?? Entahlah, lagi-lagi aku tidak mampu menjabarkannya secara logis.

Kuteguk lagi kopiku, sedikit, pahit memang, kurasa kafein yang terkandung dikopi ini mulai bekerja, menganggu Adenosin didalam tubuhku agar tidak berfungsi semestinya sehingga membuatku mampu terjaga, padahal sudah dua hari ini aku tidak tidur karena menunggu kehadiran sang Gadis Pemetik Hujan.

Rasa ingin tahu mengalahkan kantukku, penasaran.

Apa kalian sama penasarannya denganku, atau justru masabodoh dengan dongeng kampungan ini?

Kemarilah, duduk bersamaku disini, kita nikmati aroma tanah basah dan secangkir kopi hitam tanpa gula sambil menunggu kedatangan Gadis Pemetik Hujan.

,,,,,,,,,,,,,,,,,, saat ini langit masih muram dengan hiasan titik-titik hujan, tanpa ada tanda-tanda kemunculan sang Gadis Pemetik Hujan ,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,



Yns © 2009

Pattra & Malaikat yang (mungkin) Tak Lagi Bersayap Cacat....

Malam ini aku duduk tertunduk diatas atap rumahku, kali ini tanpa coklat hangat menemaniku juga tanpa kopi hitam tak bergula, hanya aku dan pikiranku.
Gema takbir kemenangan menggema,menggaung menggetarkan rongga2 rusukku,menggoyangkan jantungku yang menggantung kekiri dan kekanan, semoga saja tidak menjatuhkan kolbu yang berada ditengah-tengah jantungku.
Aku merasakan kesepian yang amat sangat sepi sehingga mampu membuatku mendengar sebuah jarum yang terjatuh dari tangan seorang penjahit yang sedang menyulap selembar kain menjadi baju lebaran yang indah.
Kesepian yang awalnya membuatku merasakan kekalahan.
Kumandang kemenangan masih terdengar dimana-mana, membuatku jengah dan hampir iri. Mengapa aku tidak bisa seperti mereka? Ikut merasakan menang. Entahlah, akupun sangsi bahwa orang-orang itu mampu memaknai kemenangan. Apa yang kalian menangkan? Kalian yakin bahwa kalian sudah menang?
Aku semakin larut dalam sepi, harus sedih ataukah senang hati? Lagi-lagi entahlah, aku tidak tahu.
Aku hanya terganggu oleh sepi ini yang terasa seperti ratusan nyamuk yang mendenging disekitar kepalaku.
Terpekur tafakur tetap berusaha bersyukur,hanya itu yang bisa kulakukan.
Tiba-tiba saja aku merasakan sekelebat angin menyentuh tengkukku, sempat membuat rambut-rambut halusku berdiri, terdengar kepakan sayap nan putih seputih putihnya putih, bersih yang tak bernoda, aku mengenalnya, itu dia, Malaikat Bersayap Cacat, diakah itu? Sayapnya tak lagi cacat, ia menyapaku tapi tak kunjung mendaratkan tubuhnya, masih berputar mengelilingiku sambil menyapaku,
"Hai putra rembulan! Apa yang kau tunggu?" senyuman meledeknya membuatku sedikit terhibur.
"Hey, lekaslah turun! Tidak takutkah kau terlihat oleh orang-orang dibawah sana?" aku setengah berbisik dan setengah berteriak gusar, khawatir orang-orang melihat kedatangan sang Malaikat.
"Siapa yang melihatku? Orang-orang itu? Tidak mungkin! Mereka hanyut dalam kemenangan semu yang membutakan hati." ujarnya sambil terkekeh ringan.
Lalu sang Malaikat terbang meninggi hingga mencapai jarak yang tak bisa kuperkirakan dan tiba-tiba menukik melipat sayapnya sehingga turun dengan kecepatan yang lagi-lagi tak bisa kuperhitungkan,
gawat! Pikirku. Apa dia hendak menghancurkan atap rumahku?!
Sang Malaikat masih menukik bak seekor burung elang yang telah mengunci target mangsanya seekor kelinci.
Setelah tersisa jarak beberapa meter dari atap rumahku secara tiba-tiba ia membentangkan sayapnya selebar mungkin,membuat tubuhnya tertahan angin melawan hukum alam, dia, sang Malaikat mendarat dengan indahnya tak seberapa jauh dariku.
Aku terpukau dibuatnya, sayap itu kini tak lagi cacat, ketika kakinya telah mantap menjejak diatap rumahku, ia melipat rapih sayap dibelakang punggungnya dan berjalan perlahan menghampiriku sembari membawa sesuatu dikedua tangannya. Apa itu? Setelah berjarak 3 lengan dariku barulah aku sadar, dia membawa 2 cangkir minuman hangat dan menyodorkan salah satunya untukku.
"Ini, cobalah, coklat hangat buatanku sendiri, persis seperti yang kau ajarkan padaku dulu, kental dan manis." senyumnya sehangat cangkir yang kini sudah berpindah ke tanganku.
Aku segera mencobanya,
Hmmm, mirip sekali dengan coklat buatanku.
" Hmmm, enak sekali, terimakasih." ujarku sedikit bangga.
"Khusus untukmu malam ini, kawan." senyumnya masih terasa hangat.
Cuma aku masih bingung, bagaimana bisa ia terbang dari tempat yang amat jauh sambil membawa coklat hangat yang sampai kini masih mengepulkan uap hangatnya? Pertanyaan itu hanya kusimpan dalam bilik didadaku bersama dengan beberapa pertanyaan yang lain.
"Tidak usah bingung." ucapnya seakan tahu apa yang ada dihatiku.
"Hanya aku yang bisa, tidak perlu dipikirkan, nikmati saja coklatnya." ia terkekeh,khas sekali,hanya dia yang terkekeh seperti itu.
Dia menyeruput coklat hangatnya dan duduk disampingku. Harum sayapnya terbawa pelan oleh hembusan angin hingga merayap masuk kedalam indera penciumanku, nyaman.
"Kau kesepian kawan?" dia selalu saja mampu membaca hatiku.
"Iya." jawabku singkat dan tertunduk lesu.
"Hahaha, Putra Rembulan tidak selemah ini!" ungkapnya sambil menepuk punggungku dengan sayap kirinya.
"Hey!" pekikku terkejut karena perlakuannya itu membuat coklatku hampir tumpah.
"Ups, maaf." katanya sambil masih terkekeh meledek.
Aku membalas menepuk pundaknya agak keras dan juga hampir menumpahkan coklat hangatnya,
"Hahahaha!" kami tertawa berbarengan.
"Apa yang kau cari diatas sini? Bukankah malam ini tidak ada rembulan yang bisa kau nikmati?" pertanyaannya menyadarkanku.
"Iya, apa yang aku cari yah? Entahlah,hehe." nyengir kuda kebiasaanku muncul kembali dibarengi menggaruk-garuk kepalaku yang sebenarnya tidak gatal.
"Sepi, iya, aku tiba-tiba merasakan kesepian." ujarku pelan.
"Hmmm, aku amat bersyukur jika tepat dimalam ini kau merasakan kesepian." dia menatapku tajam.
"Hah? Apa maksudmu? Bukankah seharusnya aku ikut mengumandangkan gema kemenangan bersama orang-orang dibawah sana?" aku bingung.
"Lalu? Kenapa tidak kau lakukan? Bergabunglah dengan mereka." dia menyeruput kembali coklatnya.
"Entahlah,aku tidak bisa."
"Aku mengerti akan apa yang kau rasakan, bersyukurlah." ia melanjutkan kembali,
"Jika kau terhanyut oleh hingar bingar dibawah sana, apakah kau akan bisa terpekur tafakur seperti tadi?" aku hanya menjawab dengan gelengan kepala.
"Ya! Itulah yang kumaksud, kawan. Bersyukurlah atas kesepian ini, tafakurlah. Pikir dan renungkan apa saja yang telah kau dapatkan selama ini."
aku merasakan pintu bilik-bilik didadaku terbuka lebar, semua isinya meleleh mengalir keluar.
Aku merasakan ada cairan hangat dipipiku, menangiskah?
Segera kuhapus air mataku, malu.
"Tidak perlu malu, Pattra, menangis itu anugrah." aku hanya tersenyum nyinyir dibuatnya.
"Jangan pula kau berpikir menang atau tidak, pasrahkan itu semua, kawan." ia meneguk habis coklat hangatnya dan berdiri.
"Ini." katanya sambil menyerahkan cangkir yang telah kosong kepadaku.
"Pertemuan selanjutnya giliranmu menyuguhkanku coklat hangat ya!" dia terkekeh lagi.
"Mau kemana?" aku agak keberatan akan kepergian sang Malaikat.
"Anugrah kesepian ini hanya untukmu, kawan. Aku ditugaskan hanya untuk memberikan sedikit penjelasan kepadamu." aku hanya menatapnya.
"Baiklah, sudah waktuku untuk beranjak, simpan cangkir itu. Sampai jumpa nanti. Jangan lupa, suguhkan coklat hangat ya!" ia terkekeh dan terbang setelah membentang lebarkan sayapnya, meninggalkanku dalam kesepian yang indah, mungkin.
Kini aku kembali sendiri bersama secangkir coklat hangat yang sudah setengah kosong dan secangkir lagi yang telah kosong.
Benarkah kesepian malam ini adalah anugrah untukku?
Sedikit sesak didadaku,ada sesuatu yang mencoba mendorong keluar,
aku terisak lembut, cairan hangat itu kembali menggantung dikedua mataku dan akhirnya jatuh mengalir, aku tidak ingat kapan terakhir kalinya aku seperti ini. Aku hanya ingin menikmati semuanya malam ini.
Kumandang kemenangan masih menggema memenuhi atap bumi, perlahan aku ikut mengumandangkan lantunan syair-syair kemenangan, cukup terdengar olehku saja. Air mata ini masih terus mengalir membawa serta beribu rasa dan tanya jatuh terbuang ke lantai bumi.
Aku masih terpekur tafakur dan bersyukur...
_______________________________

-copyright yns 2009-

Jumat, 02 Oktober 2009

Malaikat Bersayap Cacat

Kota Tua, Jakarta Kota,
2009, 06.30 WIB


Sebenarnya Jakarta bukanlah pilihan yang tepat dijadikan sebagai tempat liburan apalagi pada saat long weekend seperti sekarang ini, yah tapi mau bagaimana lagi, untuk orang-orang sepertiku yang hanya mengandalkan pendapatan dari kerja sampinganku sebagai tukang foto sekaligus kuli gambar, jelas sekali berbeda dengan tuan dan puan berkantong tebal yang setiap menjelang libur panjang akan membuka peta buta dunia untuk menentukan tempat ber-holiday ria. Memang sih tidak semua orang kaya seperti itu, contohnya seperti Pak Rudi yang saat ini sedang bercengkrama dengan sobat kentalnya Pak Hendarto, Pak Rudi adalah seorang pengusaha real estate yang cukup berhasil, tetapi dihari libur panjang seperti sekarang beliau lebih memilih bersepeda ria dikawasan Kota Tua ini, sama halnya seperti Pak Hendarto, pengusaha barang elektronik itu lebih senang menemani sahabatnya berkeliling Kota Tua dengan sepeda onthel (sepeda kumbang) nya. Mereka terlihat asik bercerita, entah apa yang mereka bicarakan, aku tidak bisa mendengarkan karena jaraknya yang cukup jauh dari tempatku duduk saat ini, tetapi cukup jelas untuk kulihat. Sesekali mereka saling melempar candaan-candaan lucu, hal itu terlihat dari tawa mereka yang pecah diantara lontaran-lontaran ucap diantara mereka, apa yang menjadi bahan candaan mereka pun aku tidak tahu karena itu bukanlah urusanku.
Sebenarnya bukanlah aktivitas Pak Rudi dan Pak Hendarto yang menjadi perhatianku saat ini, dari tempatku duduk sekarang, ini merupakan tempat kesukaanku diarea ini karena dari sini aku bisa memperhatikan sekaligus menggambar beragam aktivitas orang-orang yang berjalan hilir mudik, dari spot inilah saat ini aku memperhatikan seseorang, seekor, atau apapun itu istilah yang tepat untuk menyebutkannya aku tidak tahu,
karena bila aku katakan seseorang sudah pasti itu ditujukan kepada manusia, sedangkan seekor lebih cocok digunakan kepada binatang, sedangkan yang aku perhatikan saat ini lebih mulia daripada hewan bahkan lebih baik hati daripada manusia, karena yang saat ini berada tak jauh dari hadapanku, aku melihat sesosok (eureka! Mungkin itu sebutan yang cocok meskipun aku masih merasa belum tepat) malaikat! Ya, aku melihat sesosok malaikat.
Jelas sekali terlihat bahwa dia adalah malaikat, aku mengetahui itu karena terlihat dari sayap yang ia miliki, sepasang sayap layaknya burung merpati dan sayap itu asli, bukan tipuan,
sebenarnya sudah tidak asing lagi bagiku melihat kehadirannya disini karena satu minggu yang lalu, ditempat yang sama aku sudah melihatnya duduk seorang diri, bahkan hampir satu bulan yang lalu pun aku melihat kehadirannya di Stasiun Beos Jakarta kota, hanya saja pada waktu itu penampilannya tidak selusuh sekarang, waktu itu dia terlihat rapih dengan jubah putihnya yang bersih dan sayap berbulu lembut bahkan lebih lembut dari sutra yang terlipat amat rapih dibelakang punggungnya. Saat itu dia tidak duduk sendirian, ada beberapa calon penumpang kereta yang duduk sambil bercengkrama bersamanya, duduk dibangku peron dan selalu tersenyum ramah kepada setiap orang yang lewat dihadapannya, tetapi apa yang terjadi padanya kini?
Jubahnya tak lagi putih bersih, begitu pula kulit tubuhnya yang terlihat lebih gelap dibandingkan sebelumnya, mungkin dikarenakan terbakar oleh sengatan matahari Jakarta yang bersinar tidak terlalu ramah, rambutnya acak-acakan, tidak tersisir teratur, sepertinya akibat dari debu dan asap knalpot kendaraan di Jakarta yang semakin bertambah padat, dan satu hal lagi yang membuatku terenyuh adalah ketika aku perhatikan kondisi sayapnya yang tidak lagi putih lembut dan segagah dulu, bahkan sayap kirinya tidak dapat terlipat sempurna seperti semula, sepertinya sayap kirinya itu terluka atau mungkin bisa juga karena patah, beberapa lembar bulu sayapnya terlihat rontok yang mengakibatkan beberapa bagian permukaan sayapnya terlihat botak, hal ini tentu saja merepotkan petugas kebersihan yang sedang menyapu didekatnya, dengan wajah yang cemberut petugas kebersihan itu berlari-lari kecil mengejar bulu-bulu rontok itu karena tertiup angin, bahkan beberapa pengunjung ditempat ini terlihat menghindar dan memasang wajah jijik ketika bulu-bulu itu terbang kearah mereka.
Ada apa gerangan? Kenapa semua menjadi berubah drastis seperti ini? Dulu orang-orang selalu menantikan bulu-bulu sayapnya yang rontok, dulu orang-orang bahkan rela untuk saling beradu bogem mentah untuk mendapatkan bulu sayapnya yang rontok melayang lembut jatuh ketanah, anak-anak kecil yang berasal dari kampung sekitar sini pun dulu sangat setia duduk berjam-jam dihadapan Sang Malaikat itu untuk menantikan dia bercerita disuatu senja saat langit terlihat jingga keemasan.
Bila melihat apa yang telah menimpanya saat ini seharusnya dia sudah pergi dari tadi untuk bunuh diri dengan cara apapun asalkan tidak menyisakan rasa sakit yang teramat sakit,
tetapi saat ini yang aku lihat adalah hal yang sebaliknya terjadi, dia masih duduk tersenyum dan masih berada diatas bangku bergaya art nouvo itu, masih setia menanti anak-anak kecil yang datang untuk mendengarkan ceritanya, walau sebenarnya tak akan pernah ada lagi satu orang anak pun yang akan sudi mendekatinya,
wajahnya tidak sedikitpun menunjukkan kebencian kepada manusia, tidak menampakkan rasa sakit yang diderita oleh sayap kirinya yang kini cacat, gerak-geriknya tidak menunjukkan bahwa dia merasa kesepian, yang aku lihat dari dirinya saat ini adalah rangkuman kerendahan hatinya, mencintai tetapi tidak mengharapkan untuk kembali dicintai, yang aku lihat adalah wajahnya yang hanyut dalam syukur disetiap helaan nafasnya.
Aku tersadar, kulihat arloji yang melingkar dipergelangan tangan kananku, sudah cukup lama aku duduk terdiam tanpa sedikitpun menggoreskan pensil diatas sketch book ku, bergegas kumasukkan kembali buku sketsaku beserta seperangkat pensil dan penghapus conte kedalam tas ranselku yang telah lusuh, sedikit sulit untuk berdiri karena terlalu lama aku berada dalam posisi duduk, kuregangkan tubuhku sesaat sambil menguap lebar agar oksigen kembali memenuhi ruang paru-paruku dan terbawa bersama darah yang mengalir menuju keotakku.
Kulangkahkan kakiku dengan mantap sambil menenteng ransel jelek milikku, tanpa sedikitpun keraguan, tanpa setitikpun rasa jijik dan takut, aku berjalan mendekati Sang Malaikat Bersayap Cacat itu, aku amat sangat ingin mendengarkan cerita Lahirnya Sebuah Senja Jingga Keemasan darinya, bahkan aku tidak berniat untuk pulang hari ini, karena mulai detik ini aku memutuskan untuk ikut kemanapun Malaikat Bersayap Cacat ini pergi. Mungkin suatu saat nanti, entah kapan, aku yang akan kembali menceritakan tentang Lahirnya Sebuah Senja Jingga Keemasan kepada anak cucu kalian.
Adakah diantara kalian yang bersedia untuk bergabung denganku ?
Aku rasa tidak akan ada yang sudi.

____________________________________________________________________

yns©2009